Ads 468x60px

Monday, December 21, 2020

Kicau Mania Berduka Atas Kepergian Om Duto Pendiri Omkicau.com


Sebagaimana diberitakan oleh keluarga dari Om Duto Sri Cahyono dalam status media sosial milik Duto Sri Cahyono bahwa Bapak Duto Sri Cahyono telah berpulang ke rahamatullah. Atas kepergian beliau ini tentu saja membuat duka bagi kicau mania, karena Om Duto terkenal dengan Om Kicau merupakan sosok yang sangat baik di mata kicau mania. Situs om kicau merupakan situs hobi burung yang telah mewarnai kacah perkicauan, berbagai artikel tentang burung maupun satwa lain telah di posting oleh beliau, ternyata beliau adalah seorang wartawan tulen yang patut mendapatkan sebutan wartawan senior, sehingga tak salah jika sudah banyak artikel yang telah diterbitkan oleh beliau.

Admin sendiri pun merasakan duka atas kepergian om duto, "Almarhum begitu menggoda karya tulisannya, sehingga menggoda saya untuk terus  menulis, baru tahu ternyata beliau adalah seorang wartawan dari profil beliau di laman om kicau.com".

Beberapa ucapan bela sungkawa dari sahabat kicau mania...

Innalillahi wainnailaihi rooji'un ,
Pakde Duto ini orang baik, gak pelit ilmu , ramah, gak pernah ada kata senior junior dalam kamus hidup nya .
Selamat jalan teman, sahabat, mentor selalu kesan baik setiap pertemuan. Selamat jalan, semoga khusnul khotimah, tulis Chandra Tata

Innalillahi wainnailaihi rooji'un.... Selamat jalan, sahabat.... Smg Allah mengampuni sgl khilaf dosamu, menerangi kuburmu & meringankan langkahmu unt sampai ke jannahNya 🤲🤲🤲,
Tulis Jauhari

dan ucapan belasungkawa lewat komentar di fb telah  mencapai 1,5 ribu komentar



Berikut ini adalah sosok Om Duto Sri Cahyono pemilik Omkicau.com yang tulisannya telah membahana ke jagat raya dengan viewer puluhan ribu reader di websitenya. Ingin saya abadikan catatan beliau disini untuk jadi penyemangat bagi seorang penulis junior....

Selamat jalan om Duto, om kicau mania... Semoga husnul khotimah.... aamin...

Berawal ketika duduk di bangku SMA di Temanggung, sebuah kota kecil yang cukup dingin di lereng Gunung Sumbing-Sindoro, Jawa Tengah. Keinginan itu tiba-tiba saja muncul: aku pengin jadi wartawan. Maka, semenjak itulah aku mencoba merintis jalan demi terwujudnya cita-cita tersebut. Selepas SMA, 1983, masuklah aku ke Publisistik UGM yang kemudian berubah jadi Jurusan Ilmu Komunikasi.

(Pilihan itu salah kaprah, sebab untuk jadi wartawan, tak harus lewat pendidikan formal macam itu ternyata…).

Pada tahun kedua (atau ketiga…) aku mulai terjun menjadi seorang jurnalis, ketika secara “untung-untungan” aku diterima menjadi reporter sekaligus penyiar Acara Universitaria dan Alam Pelajar di RRI Nusantara II Yogyakarta bersama teman seangkatan, Erwin Kurniadi (almarhum… , aku rindu suara serak-serak basahmu kawan…) dan Haeny Relawati (belakangan jadi Bupati Tuban).

Berjalan setahun di RRI, aku mulai merambah koran. Aku mulai senang menulis opini di koran Kedaulatan Rakyat. Karena tidak puas sekadar jadi penulis opini, aku nekat melamar dan diterima menjadi wartawan di sana.

Gara-gara seneng mendapat uang dari menulis, aku terlambat mengerjakan skripsi. Baru tahun 1989 aku lulus (itupun setelah ada dorongan moral dari Ardiastuty, seorang wanita yang aku cintai, yang kini menjadi ibu dari tiga anak-anakku).

Selepas dari UGM, karena dorongan orang tua, aku pun melamar ke Unair Surabaya sebagai dosen. Segala persyaratan terpenuhi, kemudian mengikuti pra-jabatan, diterima dan mendapat panggilan dari BAKN. Eh, aku malah “melarikan diri” karena tertarik lagi untuk menekuni dunia jurnalistik.

Semula aku ingin kembali ke KR. Tapi awal 1990-an itu sebagian besar teman-teman di KR sudah hengkang ke Yogya Pos (Grup Prioritas milik Surya Paloh yang kemudian menjadi Media Group).

Kebetulan ada rekrutmen wartawan di Suara Merdeka Semarang. Mendaftarlah aku ke sana. Masuk. Dan mulailah kehidupanku sebagai seorang jurnalis. Selama enam tahun berikutnya aku bergabung dengan media ini. Mulai dari menjadi wartawan kota, aku kemudian menjadi redaktur sejumlah desk, dan terakhir sebagai redaktur opini.

Sebagai sebuah organisasi media, Suara Merdeka aku anggap bagus. Kekeluargaan antar-karyawan di sana terasa kental sekali. Tetapi semua itu aku tinggalkan karena timbul rasa jenuh ketika aku sadari bahwa jabatan redaktur sebenarnya adalah jabatan “manajer”. Kalau boleh memilih, maka aku ingin menjadi seorang jurnalis di lapangan. Kejenuhan itu mendorongku keluar dari Suara Mereka yang sesungguhnya (sampai saat ini) aku rasakan sebagai sebuah “rumah-kantor”, sebuah kantor yang memberikan perasaan adhem dan ayem bak rumah sendiri.

Sekeluar dari SM (tahun 1996), aku mencoba menggeluti usaha concrete industry (pembuatan paving block, batako, buis beton, dll) kecil-kecilan. Tetapi usaha itu akhirnya aku tinggalkan karena tarikan dunia jurnalistik kembali aku rasakan.

Tahun 1997, kelompok Bisnis Indonesia mendirikan koran SOLOPOS dan sedang melakukan rekrutmen untuk reporter dan redaktur. Jadilah aku masuk dan menjadi redaktur di sana; dan menjadi bagian kecil dari tim “babat alas”.

Pada tahun 2000, aku didaulat untuk menjadi redaktur pelaksana. Selama tiga tahun jabatan itu aku pegang. Pada tahun 2003, SOLOPOS mendirikan anak perusahaan –Radio SOLOPOS FM. Dan aku pun diminta pimpinan untuk membentuk tim “babat alas”. Jadilah aku Station Manager Radio.

Selama tiga tahun berkutat di radio, aku mendapatkan banyak pelajaran. Di sana juga berkesempatan bertemu secara intensif dengan banyak orang di depan corong radio.

Kebosanan toh akhirnya melanda. Maka aku pun mulai rasan-rasan dengan bosku, Danie H Soe’oed, bahwa aku pengin mengundurkan diri. “Memangnya mau kemana kamu?” Maka aku ceritakan apa yang aku rasakan sampai-sampai aku kemudian bilang, “Kalau boleh memilih Pak, sebenarnya saya pengin jadi wartawan di lapangan saja, entah itu di radio ataupun koran.”

Tetapi memang, itu adalah permintaan yang mustahil terpenuhi, kecuali kalau memang ingin merusak tatanan manajemen, bahwa orang harus menurut apa yang diputuskan manajemen untuk mengerjakan fungsi apa pada posisi struktural apa.

Jadilah aku mengundurkan diri setelah diberi kesempatan sekitar 1,5 bulan oleh si bos untuk berpikir ulang.

Sekeluar dari SOLOPOS, aku bersama sejumlah kawan mendirikan lembaga informasi kerja dan pengembangan karir GriyaGawe, yang dalam kesehariannya kemudian dikomandoi oleh Mas Aji dan Mas Abu Bakar. Pada tahun pertama, GriyaGawe berkantor di Griya SOLOPOS, dan kemudian pindah ke Jl. Dewi Sartika No 8 Solo.

Dan sekarang, inilah aku menjadi “pengamen”….. “Mengamen” kesana-kemari sambil menulis di sana-sini; menulis apa pun yang menurut aku perlu aku tulis. Hingga saat ini aku sudah “mengamen” di beberapa tempat, antara lain di Kelompok Usaha Penimo, yakni sebuah industri sandang dan jaringan pemasaran busana muslim, yang berpusat di Wedi, Klaten, sebagai konsultan manajemen/pemasaran. Karena pemilik usaha Penimo juga ingin membuat radio, maka aku juga diminta untuk melukan studi kelayakan usaha dan membuatkan laporan studi kelayakan untuk keperluan pengajuan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).

Pada saat yang sama, aku juga menyelesaikan studi kelayakan untuk radio MTA FM Solo, SOLOPOS FM (mengamen kok di radio yang tadinya aku pimpin ya, hehehe…), serta menjadi konsultan SDM dan marketing untuk Karavan FM dan Jimbaran FM (juga di Solo) dan sejumlah radio swasta maupun publik lainnya, dan terakhir adalah konsultan studi kelayakan pendirian televisi di Purworejo. Untuk yang terakhir ini, malah aku didaulat untuk menjadi general manager sampai urusan selesai dan bisa aku serahkan kembali kepada sang empunya proyek.
Sumber : www.omkicau.com

0 comments:

Post a Comment